Senin, 21 Mei 2012

Akidah Islam Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia


Selama ini Bahasa Indonesia seringkali dipandang sebagai pelajaran tidak bergengsi. Tidak jarang siswa kelas menengah dan atas memandangnya dengan sebelah mata. Maklum saja, anggapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari dipandang telah cukup. Tak perlu belajar pun, anak-anak sudah bisa berbahasa Indonesia. Padahal tak hanya sebagai alat komunikasi.
Perhatian khusus terhadap pelajaran Bahasa Indonesia akan mampu melejitkan kecerdasan siswa. Kecerdasan berbahasa ini akan meningkatkan kompetensinya di berbagai bidang ilmu. Namun hal yang paling penting adalah kemampuan berbahasa Indonesia akan menunjang proses membangun landasan berpikir siswa. Inilah yang disebut konsistensi menanamkan Aqidah Islam dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia.
Landasan Kemampuan Berbahasa Indonesia
Setiap kali memulai pelajaran Bahasa Indonesia di kelas baru, siswa selalu diingatkan pada target pembelajaran bahasa. Di dalam Al Qur’an Surat Fushilat: 33, disebutkan bahwa orang yang terbaik perkataannya adalah mereka yang menyerukan untuk beriman kepada Allah SWT, beramal shalih dan mengikrarkan diri secara nyata sebagai seorang muslim.

Ahsan Qaulan, dimaksudkan sebagai orang yang paling baik perkataannya. Perkataan seseorang menggunakan sarana bahasa. Sehingga target pembelajaran bahasa adalah menjadi orang-orang yang memiliki Ahsan Qaulan.
Ahsan Qaulan adalah sifat dan cara berbahasa orang-orang yang menyeru kepada Islam (berdakwah), beramal shalih dan menyatakan ke-Islamannya secara nyata. Inilah yang dimaksud dengan wajibnya Aqidah Islam menjadi landasan dalam berbahasa. Bisa dikatakan bahwa bahasa seseorang mampu menunjukkan aqidahnya. Setiap perkataan dan pernyataan seorang muslim tidak boleh bertentangan dengan aqidahnya.

Kewajiban Menggunakan Sudut Pandang
Sejak tingkat pertama, siswa diajarkan bagaimana menggunakan sudut pandang dalam berbahasa. Sudut pandang ini adalah cara memandang fakta, fenomena, berita dan apapun yang dicerap oleh inderanya tanpa pernah melepaskan sifat ke-Islamannya. Rasa takjub, heran, sedih, gembira, diwujudkan dengan kalimat-kalimat tasbih, hamdalah, syukur dan lain-lain.

Masih di tingkat pertama, siswa diajarkan untuk mampu membedakan sudut pandang yang bersifat Islam dan non Islam. Tulisan-tulisan yang dibaca siswa dalam artikel-artikel di media massa, tidak selalu bersifat netral. Dalam pembahasan sains yang berkembang di masyarakat saat ini pun tidak selalu kosong dari aqidah. Sebagai contoh, artikel yang membahas tentang Fenomena Black Hole, Penemuan Planet-planet Baru, Badai Matahari dan lain-lain, seringkali tanpa disadari menyajikan keraguan terhadap Sang Pencipta Alam Raya. Paham liberal, materialistis dan hedonis, kerap mengikuti pemberitaan media-media massa.
Di tingkat kedua, siswa diajarkan untuk mampu membedakan, apakah sebuah pernyataan mengandung nilai atau bersifat netral. Antara fakta dan opini, adalah kenyataan informasi yang akan ditangkap siswa, ketika mereka menerima, mendengar dan melihat berita-berita di masyarakat. Kemampuan membedakan dan menilainya, dipengaruhi oleh aqidah tertentu. Inilah satu alasan penting, bahwa sudut pandang tidak boleh dilepaskan dari cara berbahasa.

Mengasah Keahlian Berbahasa
Berbahasa yang baik memerlukan keahlian. Keahlian ini yang akan menentukan, apakah pesan bisa tersampaikan dengan baik atau tidak. Keahlian ini meliputi kemampuan menyampaikan secara lisan atau tulisan. Pada setiap tingkatan pembelajaran Bahasa Indonesia, hampir tidak pernah kosong dari waktu untuk selalu melatih kemampuan. Inilah sebabnya, ada sesi khusus untuk mengasah kemampuan berbicara dan menulis.
Sejalan dengan waktu, siswa akan dinilai, bagaimana penggunaan sudut pandangnya dalam setiap kesempatan. Apakah terbentuk pola berpikir sesuai sudut pandang Islam (aqidah)? Apakah telah terbentuk kekonsistenan dalam penggunaan pola ini? Apakah pola berpikirnya telah membentuk perilaku Islami? Bahasa yang digunakan siswa akan menunjukkan kemampuan ini.
Beberapa tahapan menjadi sandaran untuk menilai kemampuan berpikir siswa. Pada tahap awal, bagaimana kemampuannya membaca berita? Tahap kedua, bagaimana kemampuannya menganalisis masalah? Tahap ketiga, bagaimana menilai masalah sesuai dengan sudut pandang Islam. Proses ini senantiasa diulang-ulang dalam pembelajaran.
Pengulangan secara konsisten akan meningkatkan kualitas setiap tahapan. Tahapan inilah yang dalam upaya pengukuran standar kompetensi dipilah menjadi: Pembentukan Pola Pikir, Berpikir Benar, Berpikir Serius dan Berpikir Cepat.
Keahlian Berbahasa Menopang Kemampuan Dakwah
Tak ada yang lebih baik perkataannya, daripada seorang pengemban dakwah Islam. Pepatah mengatakan, ketajaman lisan dan pena mampu mengalahkan pedang.
Bahasa Dakwah adalah Bahasa Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bahasa ini kokoh tegak di atas landasan Aqidah Islam. Bahasa pengemban dakwah sejati, tak lekang oleh arus zaman. Angin dahsyat Liberalisme, Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi tidak akan mampu menggoyahkannya. Bahkan pilihan kata, adalah warna aqidahnya.
Dengan demikian, tak ada yang lebih penting diperhatikan oleh seorang guru Bahasa Indonesia, selain dari kekonsistenan Aqidah Islam dalam seluruh ekspresi Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Sebagaimana terkandung dalam Al Qur’an Surat Fushilat ayat 33, maka kemampuan bahasa yang tertinggi adalah kemampuan beramar ma’ruf nahi munkar. Penguasaan Al Qur’an juga menjadi landasan, selain kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa Al Qur’an adalah tingkat tertinggi dari segala bentuk kemampuan berbahasa. Belajar Bahasa Indonesia menjadi tahapan untuk membawa umat Islam negeri ini menuju kesadaran mempelajari jenis bahasa yang terbaik, yakni Bahasa Arab. Dengan demikian, motivasi dakwah menjadi alasan terkuat untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa dakwah adalah karakter berbahasa para pemimpin.

Penulis: Ustadzah Ir. Lathifah Musa, Guru Bahasa Indonesia, Penulis dan Pekerja Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar