Selama ini Bahasa Indonesia
seringkali dipandang sebagai pelajaran tidak bergengsi. Tidak jarang siswa
kelas menengah dan atas memandangnya dengan sebelah mata. Maklum saja, anggapan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari dipandang
telah cukup. Tak perlu belajar pun, anak-anak sudah bisa berbahasa Indonesia.
Padahal tak hanya sebagai alat komunikasi.
Perhatian khusus terhadap
pelajaran Bahasa Indonesia akan mampu melejitkan kecerdasan siswa. Kecerdasan
berbahasa ini akan meningkatkan kompetensinya di berbagai bidang ilmu. Namun
hal yang paling penting adalah kemampuan berbahasa Indonesia akan menunjang
proses membangun landasan berpikir siswa. Inilah yang disebut konsistensi
menanamkan Aqidah Islam dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia.
Landasan
Kemampuan Berbahasa Indonesia
Setiap kali memulai pelajaran
Bahasa Indonesia di kelas baru, siswa selalu diingatkan pada target
pembelajaran bahasa. Di dalam Al Qur’an Surat Fushilat: 33, disebutkan bahwa
orang yang terbaik perkataannya adalah mereka yang menyerukan untuk beriman
kepada Allah SWT, beramal shalih dan mengikrarkan diri secara nyata sebagai
seorang muslim.
Ahsan Qaulan, dimaksudkan sebagai orang yang paling baik perkataannya. Perkataan seseorang menggunakan sarana bahasa. Sehingga target pembelajaran bahasa adalah menjadi orang-orang yang memiliki Ahsan Qaulan.
Ahsan Qaulan, dimaksudkan sebagai orang yang paling baik perkataannya. Perkataan seseorang menggunakan sarana bahasa. Sehingga target pembelajaran bahasa adalah menjadi orang-orang yang memiliki Ahsan Qaulan.
Ahsan Qaulan adalah sifat dan
cara berbahasa orang-orang yang menyeru kepada Islam (berdakwah), beramal
shalih dan menyatakan ke-Islamannya secara nyata. Inilah yang dimaksud dengan
wajibnya Aqidah Islam menjadi landasan dalam berbahasa. Bisa dikatakan bahwa
bahasa seseorang mampu menunjukkan aqidahnya. Setiap perkataan dan pernyataan
seorang muslim tidak boleh bertentangan dengan aqidahnya.
Kewajiban
Menggunakan Sudut Pandang
Sejak tingkat pertama, siswa
diajarkan bagaimana menggunakan sudut pandang dalam berbahasa. Sudut pandang
ini adalah cara memandang fakta, fenomena, berita dan apapun yang dicerap oleh
inderanya tanpa pernah melepaskan sifat ke-Islamannya. Rasa takjub, heran,
sedih, gembira, diwujudkan dengan kalimat-kalimat tasbih, hamdalah, syukur dan
lain-lain.
Masih di tingkat pertama, siswa diajarkan untuk mampu membedakan sudut pandang yang bersifat Islam dan non Islam. Tulisan-tulisan yang dibaca siswa dalam artikel-artikel di media massa, tidak selalu bersifat netral. Dalam pembahasan sains yang berkembang di masyarakat saat ini pun tidak selalu kosong dari aqidah. Sebagai contoh, artikel yang membahas tentang Fenomena Black Hole, Penemuan Planet-planet Baru, Badai Matahari dan lain-lain, seringkali tanpa disadari menyajikan keraguan terhadap Sang Pencipta Alam Raya. Paham liberal, materialistis dan hedonis, kerap mengikuti pemberitaan media-media massa.
Masih di tingkat pertama, siswa diajarkan untuk mampu membedakan sudut pandang yang bersifat Islam dan non Islam. Tulisan-tulisan yang dibaca siswa dalam artikel-artikel di media massa, tidak selalu bersifat netral. Dalam pembahasan sains yang berkembang di masyarakat saat ini pun tidak selalu kosong dari aqidah. Sebagai contoh, artikel yang membahas tentang Fenomena Black Hole, Penemuan Planet-planet Baru, Badai Matahari dan lain-lain, seringkali tanpa disadari menyajikan keraguan terhadap Sang Pencipta Alam Raya. Paham liberal, materialistis dan hedonis, kerap mengikuti pemberitaan media-media massa.
Di tingkat kedua, siswa
diajarkan untuk mampu membedakan, apakah sebuah pernyataan mengandung nilai
atau bersifat netral. Antara fakta dan opini, adalah kenyataan informasi yang
akan ditangkap siswa, ketika mereka menerima, mendengar dan melihat
berita-berita di masyarakat. Kemampuan membedakan dan menilainya, dipengaruhi
oleh aqidah tertentu. Inilah satu alasan penting, bahwa sudut pandang tidak
boleh dilepaskan dari cara berbahasa.
Mengasah Keahlian Berbahasa
Mengasah Keahlian Berbahasa
Berbahasa yang baik
memerlukan keahlian. Keahlian ini yang akan menentukan, apakah pesan bisa
tersampaikan dengan baik atau tidak. Keahlian ini meliputi kemampuan
menyampaikan secara lisan atau tulisan. Pada setiap tingkatan pembelajaran Bahasa
Indonesia, hampir tidak pernah kosong dari waktu untuk selalu melatih
kemampuan. Inilah sebabnya, ada sesi khusus untuk mengasah kemampuan berbicara
dan menulis.
Sejalan dengan waktu, siswa
akan dinilai, bagaimana penggunaan sudut pandangnya dalam setiap kesempatan.
Apakah terbentuk pola berpikir sesuai sudut pandang Islam (aqidah)? Apakah
telah terbentuk kekonsistenan dalam penggunaan pola ini? Apakah pola
berpikirnya telah membentuk perilaku Islami? Bahasa yang digunakan siswa akan
menunjukkan kemampuan ini.
Beberapa tahapan menjadi
sandaran untuk menilai kemampuan berpikir siswa. Pada tahap awal, bagaimana
kemampuannya membaca berita? Tahap kedua, bagaimana kemampuannya menganalisis
masalah? Tahap ketiga, bagaimana menilai masalah sesuai dengan sudut pandang
Islam. Proses ini senantiasa diulang-ulang dalam pembelajaran.
Pengulangan secara konsisten
akan meningkatkan kualitas setiap tahapan. Tahapan inilah yang dalam upaya
pengukuran standar kompetensi dipilah menjadi: Pembentukan Pola Pikir, Berpikir
Benar, Berpikir Serius dan Berpikir Cepat.
Keahlian
Berbahasa Menopang Kemampuan Dakwah
Tak ada yang lebih baik
perkataannya, daripada seorang pengemban dakwah Islam. Pepatah mengatakan,
ketajaman lisan dan pena mampu mengalahkan pedang.
Bahasa Dakwah adalah Bahasa
Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bahasa ini kokoh tegak di atas landasan Aqidah Islam.
Bahasa pengemban dakwah sejati, tak lekang oleh arus zaman. Angin dahsyat
Liberalisme, Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi tidak akan mampu
menggoyahkannya. Bahkan pilihan kata, adalah warna aqidahnya.
Dengan demikian, tak ada yang
lebih penting diperhatikan oleh seorang guru Bahasa Indonesia, selain dari
kekonsistenan Aqidah Islam dalam seluruh ekspresi Pembelajaran Bahasa
Indonesia.
Sebagaimana terkandung dalam
Al Qur’an Surat Fushilat ayat 33, maka kemampuan bahasa yang tertinggi adalah
kemampuan beramar ma’ruf nahi munkar. Penguasaan Al Qur’an juga menjadi
landasan, selain kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa Al Qur’an
adalah tingkat tertinggi dari segala bentuk kemampuan berbahasa. Belajar Bahasa
Indonesia menjadi tahapan untuk membawa umat Islam negeri ini menuju kesadaran
mempelajari jenis bahasa yang terbaik, yakni Bahasa Arab. Dengan demikian,
motivasi dakwah menjadi alasan terkuat untuk mempelajari Bahasa Indonesia.
Selain itu, bahasa dakwah adalah karakter berbahasa para pemimpin.
Penulis: Ustadzah Ir. Lathifah Musa, Guru Bahasa Indonesia, Penulis dan Pekerja Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar