Ujian Nasional (UN), baik di tingkat SD, SMP maupun SMA,
seolah sepaket dengan isu-isu (fakta?) berikut: kecurangan, beredarnya kunci
jawaban, kesalahan teknis penilaian, dan hura-hura pasca pengumuman kelulusan.
Sampai kapan ini terus berulang? Tidak adakah mekanisme untuk menghentikannya?
Ujian Integritas
Sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan UN mempertaruhkan
integritas para siswa, guru, kepala sekolah dan bahkan pengambil kebijakan di
Dinas Pendidikan. Pasti, setiap sekolah memiliki target kelulusan 100 persen.
Target itu turun-temurun dari pundak kepala daerah, ke Dinas Pendidikan, ke
kepala sekolah, ke guru lantas ke siswa.
Target lulus ini, menyangkut jabatan, nama baik daerah
dan sekolah bersangkutan. Prestasi kelulusan menjadi salah satu parameter
sekolah dalam penerimaan siswa tahun ajaran baru. Label sebagai sekolah yang
sukses meluluskan anak didiknya akan menaikkan taraf gengsi. Itu artinya berkah
berupa kelimpahan jumlah siswa akan didapat pada tahun ajaran baru nanti.
Selanjutnya, peluang bagi sekolah tersebut untuk
menjaring siswa-siswa potensial dengan nilai terbaik. Ini penting guna
mendongkrak kembali prestasi sekolah, baik melalui UN maupun yang lainnya di
tahun berikutnya.
Sayangnya, tanggungjawab mengharumkan nama baik sekolah
ini kerap dilakukan dengan cara-cara tidak terpuji. Di sinilah dipertanyakan,
dimana letak integritas para pendidik sebagai orang-orang yang tercelup di
lembaga pendidikan? Bukankah pendidikan terlanjur ditahbiskan sebagai “dunia
suci” yang jauh dari intrik-intrik, kecurangan, keculasan, kolusi dan korupsi?
Profesi pendidik adalah teladan. Guru, digugu dan ditiru
(didengar dan diikuti, red). Anak didik selalu merujuk pada guru. Guru adalah
“malaikat” kecil di tengah pelajar. Guru selalu benar, tidak boleh salah. Guru
di mata anak didik adalah “sosok suci”.
Bukankah berjuta kali guru memberi wejangan tentang
kejujuran, kedisiplinan dan nilai-nilai kebaikan pada anak didiknya? Akankah
bangunan kepercayaan yang disemai selama bertahun-tahun itu dibiarkan runtuh
seketika demi sebuah predikat lulus UN?
Jika para pendidik –baik sebagai guru atau elemen
pengambil kebijakan– mampu menjaga dan mempertahankan integritasnya, anak
didikpun akan menaruh hormat dan respek padanya. Bahkan, ini akan mendorong
anak didik untuk mengedepankan integritasnya pula dalam menghadapi UN. Artinya,
sekalipun banyak peluang di depan mata untuk berbuat curang atau culas, jika
pelajar memegang teguh prinsip kejujuran, peluang itu akan dianggap angin lalu.
Dengan begitu, tidak usah terlalu mengkhawatirkan
beredarnya kunci jawaban, isu kebocoran soal dan sejenisnya. Pelajar yang
menjunjung tinggi integritasnya akan percaya diri dengan kemampuannya. Ia
optimis dengan hasil usahanya sendiri dan tak tergoda berbuat curang.
Sayang, pelajar seperti ini sudah semakin jarang
ditemukan. Kejujuran sangat mahal. Jujur sama artinya bunuh diri. Masih ingat
dengan kasus nyontek massal yang dibongkar Alif dan ibunya, Siami di Surabaya,
Mei 2011 lalu, yang justru berakhir pada pengucilan mereka oleh sekolah dan
para tetangga? Sungguh miris!
Generasi Stress
UN dianggap satu-satunya parameter keberhasilan anak
didik. Untuk mencapai keberhasilan UN, trial and error tak henti
di-uji-cobakan di lembaga pendidikan. Tujuannya, demi melahirkan lulusan ideal.
Sayang, alih-alih melahirkan lulusan yang mumpuni di bidang sainstek dan takwa,
sebagaimana maklumat tujuan pendidikan nasional, output UN kian tahun kian
mengecewakan. Salah satunya, tergadaikannya integritas para pelakon di dunia
pendidikan.
Ini akibat UN terlalu disakralkan. Lulus UN seolah
selamat dari kiamat. Ini karena kecerdasan siswa hanya diukur dari angka-angka,
itupun hanya beberapa pelajaran. Masa depan mereka tergantung UN. Adapun
perilaku dan moral pelajar sama sekali diabaikan.
Akibatnya, pemahaman soal nilai-nilai kebaikan dan
nilai-nilai agama sangat minim selama proses belajar mengajar. Dengan tingkat
keimanan dan ketakwaan yang masih labil akibat minimnya pendidikan agama,
ditambah lagi beban berat kurikulum pembelajaran, membuat pelajar cenderung
stres. UN adalah klimaksnya, apapun dilakukan demi melewatinya dengan mulus,
termasuk menghalalkan segala cara.
Pendidikan Moral
Perlu perubahan revolusioner untuk menghapus tradisi
kecurangan dalam UN. Pertama, harus ada penanaman rasa tanggung jawab
intelektual kepada para pelajar. Bahwa, menuntut ilmu itu sebuah kewajiban
mulia, jangan dianggap beban berat. Menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dengan
enjoy, sehingga terbiasa menghadapi ujian. Mentalnya siap menerima apapun hasil
ujian.
Kedua, sistem pendidikan sejak awal harus dikondisikan
untuk melahirkan siswa yang berkepribadian Islam dan menjunjung nilai-nilai
moral. Mereka memiliki tanggungjawab untuk menolak kecurangan, bahkan
antihura-hura pasca UN dengan corat-coret seragam atau konvoi kendaraan. Mereka
paham bahwa itu tindakan sia-sia yang tak bernilai pahala.
Sekarang ini, penanaman mental dan moral hanya dilakukan
sesaat menjelang UN. Sebelum UN mengadakan muhasabah bersama, tausiyah oleh
ustad dan zikir bersama. Menjelang UN mendekati Allah SWT, saat UN tak ingat
Allah dengan main curang, dan pasca UN, semakin jauh dari Allah SWT.
Ketiga, sistem pendidikan, termasuk kurikulumnya, disesuaikan
dengan perkembangan usia anak didik dan minatnya. Jangan disamaratakan
kemampuan siswa dengan UN yang tolak ukur pelajarannya sama. Tidak semua anak
jago matematika, mungkin dia lebih jago bidang lain. Karena itu, perlu
evaluasi, masihkah UN menjadi model ideal sebagai parameter keberhasilan siswa?
Di sinilah peran institusi pemerintahan yang mengurusi
masalah pendidikan. Tentu, sistem pendidikan ideal adalah sistem pendidikan
Islam yang menanamkan ketakwaan pada anak didik sejak usia dini, sehingga
menjadi pribadi kuat yang siap menghadapi apapun. Pribadi yang menjunjung
tinggi kejujuran dan menolak tindakan tak terpuji demi tujuan apapun. Apalagi
sekadar UN, sama sekali bukan ritual sakral yang harus ditakuti.[]
Oleh Kholda Naajiyah A (Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)
Sumber: www.hizbut-tahrir.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar