Hajatan tahunan
pemerintah dalam bidang pendidikan, yakni Ujian Nasional (UN) tingkat SD hingga
SLTA, baru saja usai. Penyelenggaraan UN tahun 2012 menelan biaya hingga Rp.
600 milyar lebih.
Tujuan
penyelenggaraan UN itu untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu
pertimbangan untuk: 1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. 2.
Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 3. Penentuan kelulusan
peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan 4. Pembinaan dan
pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
Penyelenggaraan
Pendidikan: Sarat Masalah
Pelaksanaan UN itu
sejak awal telah menimbulkan pro dan kontra. Pengadopsian UN sendiri lebih
terlihat mengikuti pola evaluasi pendidikan ala barat, khususnya AS.
Kepentingan UN dan pendidikan lebih banyak dilihat dari kaca mata makro
secara rata-rata bukan melihat prestasi individu siswa. Selain itu, UN
tidak fair, sebab, nasib siswa hanya diukur melalui ujian selama 4 hari
dengan beberapa mata pelajaran tertentu saja. Akibatnya, mata pelajaran yang
tidak masuk Ujian Nasional seperti dianak-tirikan dan dianggap tidak begitu
penting.
Pengukuran
kompetensi ala UN (termasuk UTS, UAS, dan ulangan harian) memang dapat
mengetahui tingkat kemampuan siswa terhadap penguasaan materi pelajaran yang
diberikan. Namun ternyata akibat dari adanya UN yang disertai pemberlakuan
standar tertentu dan dijadikan penentu pokok kelulusan dan kenaikan
kelas/tingkat membuat capaian nilai menjadi tujuan. Celakanya hal itu tidak hanya
menimpa siswa tapi juga para guru dan pihak sekolah. Apalagi ketika prestasi
bahkan pemberian bantuan dana dan prasarana dikaitkan dengan pencapaian nilai
UN. Seolah-olah UN menjadi tujuan akhir dari proses pembelajaran. Segala cara
pun dilakukan tanpa mengindahkan kejujuran, moral dan nilai-nilai luhur demi
nilai UN dan ulangan yang tinggi.
Padahal seharusnya
pembelajaran membuat siswa menguasai pengetahuan dan keahlian sehingga menjadi
kompetensi yang melekat dan bisa dia aplikasikan dalam kehidupan dan dia
kembangkan. Hal itu dibarengi dengan pendidikan yang diarahkan untuk merubah
pola pikir dan perilaku siswa dan membentuknya kearah yang lebih baik.
Sayangnya kurikulum yang ada belum bahkan tidak mengarah ke sana. Kurikulum
yang ada lebih menekankan pada transfer pengetahuan. Tidak ada misi membentuk
moral, karakter apalagi kepribadian siswa.
Rendahnya kualitas
pembelajaran dan pendidikan itu juga diindikasikan oleh hasil laporan UNDP.
Menurut laporan UNDP tahun 2011, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau Human Development Index (HDI) Indonesia turun dari peringkat ke-108
pada 2010 menjadi peringkat ke-124 pada tahun 2011. Meskipun angkanya naik dari
0,600 (2010) menjadi 0,617 (2011), namun secara peringkat Indonesia turun 16
peringkat.
Semua masalah itu
masih diperparah oleh masalah buruknya sarana prasarana pendidikan. Data
Kemendikbud menyebutkan, ada sekitar 161 ribu sekolah rusak. Sekitar 45% dari
gedung sekolah rusak tersebut mengalami rusak berat, dengan kemiringan lebih
dari tujuh derajat dan mendekati 90 derajat, alias hampir rubuh.
Selain itu
keberadaan guru juga belum merata. Rasio antara guru dan siswa sebenarnya sudah
memadai, yaitu satu banding dua puluh (1:20). Tetapi, sebagian besar guru
menumpuk di kota. Ada sekolah yang kelebihan jumlah gurunya dan ada sekolah
yang hanya memiliki satu orang guru saja.(lihat, republika.co.id,15/4/2012).
Anggaran
pendidikan yang mengalami peningkatan fantastis, terutama setelah UU menetapkan
anggaran pendidikan 20% dari APBN, ternyata tidak serta merta problem
pendidikan tuntas. Anggaran pendidikan di APBN-P 2011 Rp 266,9 triliun, jumlah
itu sudah separuh dari total APBN tahun 2005, lalu naik menjadi Rp 289 triliun
di APBN 2012 dan menjadi Rp 303 triliun di APBN-P 2012. Hanya saja jumlah itu
tidak semuanya dikelola oleh Kemendikbud, tetapi jumlah itu didistribusikan ke
belasan kementerian dan lembaga. Dari jumlah itu Rp 137 triliun lebih untuk
gaji dan Rp 100 triliun lebih ditransfer ke daerah diantaranya untuk dana BOS.
Jumlah dana BOS yang sudah ada sejak tahun 2005 itu, naik dari Rp 16 triliun
(2011) menjadi 23 triliun (2012).
Dengan dana
sebesar itu, nyatanya masih banyak anak yang tidak bisa menyelesaikan wajib
belajar 9 tahun. Menurut anggota DPR RI Raihan Iskandar (26/12/12) dalam data
tahun 2011 ada 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak
menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Juga ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak
dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Sebabnya adalah karena kemiskinan sehingga
tidak punya biaya untuk sekolah.
Biang Keroknya:
Kapitalisme
Semua problem itu
bermuara pada diterapkan kapitalisme dengan prinsip 4 kebebasan (perilaku,
pendapat, beragama dan kepemilikan). Kapitalisme berlandaskan akidah
sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya pelajaran agama dan
moral diajarkan di sekolah sekedar sebagai ilmu, bukan untuk dipedomani dan
dijadikan panduan. Konon itu demi menjamin kebebasan.
Pendidikan dalam
sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru
dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga
kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih
menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan
moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan
terampil tapi tidak religius dan tak jarang culas.
Demi menjamin
kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara
sentralistik dan harus sebanyak mungkin bersifat otonom. Disinilah kita bisa
tahu kenapa kurikulum nasional “dibonsai” dan penentuan materi serta muatan
program makin banyak diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah yang menentukan
buku materi pengajaran yang digunakan, yang dalam prakteknya banyak terjadi
perselingkuhan dengan penerbit dengan imbalan tertentu.
Otonomi yang
diberikan juga mencakup pendanaan. Akibat kapitalisme, peran pendanaan oleh
pemerintah harus makin berkurang dan sebaliknya pendanaan oleh masyarakat
(orang tua siswa) makin besar. Sekolah berkualitas pun menjadi mahal.
Akibatnya, terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Orang miksin tidak bisa
mendapat pendidikan berkualitas. Mereka tidak bisa mengembangkan potensi
dirinya dan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hanya orang menengah keatas
yang bisa mengakses pendidikan berkualitas. Padahal sekolah seharusnya dapat
menjadi pintu perbaikan taraf hidup bagi si miskin. Selain itu juga akan melanggengkan
penjajahan.
Karena itu harus
dilakukan reorientasi dan penataan kembali pendidikan mulai dari filosofi,
tujuan dan kurikulum sampai ke manajemen pendidikan, metode pembelajaran,
substansi pengajaran, pendanaan pendidikan, dan sebagainya. Pendidikan harus
dibebaskan dari kapitalisme.
Islam Mengatur Pendidikan
Dalam Islam,
hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung
jawab. Negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan
rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ
هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Imam (Khalifah/kepala
negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas
rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari
dan Muslim).
Sebagai bagian
dari ri’ayah itu maka pendidikan harus diatur sepenuhnya oleh negara
berdasarkan akidah Islam. Pendidikan itu harus ditujukan untuk membentuk
kepribadian Islam dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keahlian
yang dibutuhkan dalam kehidupan. Hasilnya adalah orang-orang yang pintar,
trampil dan berkemampuan sekaligus berkepribadian Islam dan berakhlak.
Islam menentukan
penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar
masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Dasarnya karena
Rasul saw menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir adalah mengajari
sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah
yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Diperuntukkannya ghanimah untuk
menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis itu menunjukkan bahwa
penyediaan pendidikan oleh negara untuk rakyat adalah wajib. Ijmak sahabat atas
pemberian gaji kepada para pengajar/guru dari harta baitul mal lebih menegaskan
hal itu.
Sumber dana untuk
semua itu adalah dari pemasukan harta milik negara dan hasil pengelolaan harta
milik umum, seperti tambang mineral, migas, hutan, laut, dsb. Rasulullah saw.
bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ
شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim
bersekutu dalam tiga hal: padang, air dan api (energi). (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Dengan itu, maka
pendidikan bermutu dengan gratis atau biaya sangat rendah bisa disediakan dan
dapat diakses oleh seluruh rakyat. Hal itu memang menjadi hak mereka semua
tanpa kecuali dan menjadi kewajiban negara.
Wahai Kaum Muslim
Dunia pendidikan
yang sarat masalah saat ini hanya bisa dituntaskan dengan mencampakkan
kapitalisme dan menerapkan syariah Islam secara total. Hanya dengan penerapan
syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah saja, pendidikan bermutu bisa dirasakan
oleh seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya atau miskin, muslim atau non
muslim. Karena itu saatnya dilipatgandakan upaya dan perjuangan untuk menerakan
syariah dan menegakkan Khilafah Rasyidah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber: Buletin Dakwah Al
Islam/www.hizbut-tahrir.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar