Selasa, 17 Mei 2011

Pendidikan Karakter Kebangsaan, Akankah Menyelamatkan Generasi Bangsa ?


Dunia remaja dan pelajar Indonesia hingga saat ini masih tetap diwarnai tawuran, kriminalitas, kekerasan, pergaulan bebas, miras dan obat terlarang.  Tentunya, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua ada apa dengan pendidikan generasi kita? Dsisi lain, ada fakta bahwa remaja kita berdasar pada hasil survei lembaga swasta baru-baru ini, sebanyak 48,9 persen pelajar di Jakarta bersedia melakukan kekerasan terkait isu agama dan moralitas (vivanews.com, 1 Mei 2011).  Kasus bob yang melibatkan pemuda, pelaku dan korban cuci otak dari kalangan pemuda, dan juga kondisi buruk dunia remaja, memunculkan kembali pemikiran tentang perlunya peserta didik mendapatkan pendidikan karakter ke-Indonesiaan. Karena itulah, pendidikan karakter kebangsaan dicanangkan pada peringatan Hardiknas tahun 2011 lalu.
Masalahnya, benarkah yang dibutuhkan oleh generasi bangsa ini adalah pendidikan karakter kebangsaan? Apakah sudut pandang kebangsaan yang menjadi acuan pemerintah tersebut akan efektif untuk membangun dan memajukan bangsa?  Bagaimana sebenarnya arah pendidikan generasi sehingga menghasilkan sumber daya yang mampu membangun bangsa?
Mengurai Kepentingan
Gagasan pendidikan karakter kebangsaan kembali dikuatkan akhir-akhir ini seiring dengan mencuatnya isu radikalisme agama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Adanya keinginan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia dengan cara-cara yang keliru semisal pencucian otak, penipuan dan yang lainnya, dipandang bahaya yang mengancam eksistensi bangsa.  Terlenih pasca reformasi, pembahasan Pancasila, UUD ‘45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dianggap tabu,  yang akhirnya pilar-pilar kebangsaan itu pun mulai dilupakan.  Sikap pembelaan kepada negara dan menjaga kesatuannya semakin luntur.  Sebaliknya, radikalisme maupun semangat untuk ‘mengubah’ negara ini kian menguat.  Seperti kemunculan NII yang selama ini ditengarai pemerintah hendak mendirikan negara Islam di Indonesia dan membubarkan Indonesia.
Berkaitan dengan penangkalan bahaya NII tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan bahwa pendidikan karakter tidak hanya untuk membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan semata, tetapi secara bersamaan juga bertujuan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa, yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara. (kompas.com, 29 April 2011).  Pemerintah juga menyatakan bahwa bahaya idiologi NII harus dilawan dengan idiologi pula.  Untuk meluruskan pemahaman keliru NII harus dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar khususnya kepada pelajar dan mahasiswa yang selama ini menjadi sasaran utama NII.  Karena itulah penangkalan NII harus dilakukan melalui lembaga pendidikan di mana para calon korban tersebut biasa menimba ilmu.
Pendidikan karakter kebangsaan bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila,  UUD NKRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pilarnya.  Dengan konsep ini, diharapkan peserta didik tidak mempan terindoktrinasi ajaran NII yang mengkafirkan negara dan warga negaranya yang tidak masuk golongan mereka.  Tak hanya itu, pendidikan karakter ini juga diharapkan menjadi pilar kebangkitan bangsa yang kini makih terpuruk.  Disinyalir, terpuruknya bangsa disebabkan karena warga negaranya sudah tidak lagi mencintai Pancasila, UUD ‘45, NKRI dan lupa ber-Bhinneka Tunggal Ika.  Dalam tataran inilah pendidikan yang mengembalikan peran keempat pilar kebangsaan itu dianggap sangat urgen.
Pendidikan Basis Karakter
Pendidikan berbasis karakter kebangsaan sebenarnya pernah dijalankan bangsa ini di masa awal kemerdekaan.  Kecintaan dan pembelaan yang mendalam terhadap negara menjadi bukti pengaruh pendidikan kebangsaan yang pernah dijalankan.  Namun, seperti yang  kita rasakan, pengaruh pendidikan kebangsaan tersebut ternyata bersifat sementara.  Begitu penjajah (Belanda atau tentara Sekutu) hilang dari bumi nusantara, semangat pembelaan terhadap negara mulai mengendur.
Penguatan sikap kebangsaan kembali dikuatkan di era Orde Baru.  Mengusung slogan pembangunan nasional, Pancasila dijabarkan dalam butir-butir P4.  Berbagai penataran dan lomba-lomba yang mengusung pilar-pilar kebangsaan itupun menjadi acara tahunan wajib yang harus diikuti oleh siswa maupun pegawai pemerintah.  Benar saja, dukungan dan loyalitas kepada pemerintahan pun kian kuat.  Saking kuatnya, mereka hampir-hampir tidak mampu memilah benang pemisah antara kebaikan dan keburukan yang dijalankan pemerintah.  Tiga puluh tahun masa penguatan kebangsaan berbuah kultus pada penguasa yang makin tidak memperhatikan hak-hak rakyatnya.  Bom waktu pun meledak, karena pendidikan kebangsaan ternyata menjadi alat bagi penguasa untuk mendominasi kekuasaan dan mengeliminir hak-hak rakyat.
Mungkin ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa dengan kuatnya pendidikan kebangsaan, ancaman disintegrasi, separatisme, radikalisme dan anti Indonesia bisa dikendalikan.  Dan itu pernah dirasakan bangsa ini di era Orba.  Pendapat ini tentu saja tidak sepenuhnya benar, bahkan cenderung membohongi kenyataan.  Sebenarnya, gejolak anti pemerintah yang korup sudah berlangsung meski pendidikan kebangsaan diterapkan pada masyarakat.  Namun, penguasa ternyata lebih pintar menyimpan bobrok demokrasi ini sehingga ada kesan mampu mengeliminasi gejolak anti ke-Indonesiaan.  Berbagai tindakan represif pemerintah saat itu mampu dijalankan dengan rapi.  Masyarakat awam akhirnya mampu dibodohi untuk tunduk kepada kekuatan rezim korup atas nama pembelaan kepada negara.
Pendidikan karakter kebangsaan pada sejarahnya terbukti tidak membawa negara ini maju, malah terbelit dengan berbagai persoalan pelik yang beratnya bisa dirasakan hingga tujuh turunan.  Pendidikan karakter kebangsaan hanya menghasilkan robot-robot pembela bangsa yang tidak mampu membedakan benar-salah, halal-haram ataupun baik-buruk. Generasi yang berkarakter kebangsaan juga terbukti tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah bangsa yang kini membelit.
Terlebih lagi, sebenarnya akar persoalan bangsa bukanlah terletak pada tidak diterapkannya Idiologi Pancasila, tapi karena sekulerisme yang menggurita. Sebaik apapun orangnya, sesantun apapun perilaku pelaksana negeri ini, bila rusak sistemnya, maka mereka tidak akan mampu mengubah wajah bangsa.
Sekulerisasi Pendidikan
Penerapan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis sesungguhnya merupakan masalah dasar munculnya berbagai persoalan termasuk didalamnya yang terkait dengan karakter manusia dan aturan yang dibuatnya.  Berbagai tindakan buruk manusia, lahir dari cara pandang terhadap kehidupan dan adanya aturan yang lahir dari cara pandang tersebut.  Saat bangsa ini menganut sistem demokrasi - yang bertumpu pada empat pilar kebebasan yakni kebebasan bertindak, berpendapat, bebas mengeksploitasi sumber daya alam, kebebasan beragama, yang terangkum dalam HAM - maka bisa kita saksikan dan rasakan bahwa aturan yang diterapkan di tengah masyarakat adalah aturan yang liberal.
Dunia gelap remaja semisal bisnis dan konsumsi narkoba, barang haram ini tidak diberantas seutuhnya karena dipandang benda ekonomis sepanjang masih ada orang yang membutuhkannya dan ternyata menguntungkan.  Pergaulan bebas, tidak serius dilarang mengingat bahwa persoalan ini masuk dalam ranah individu yang mempunyai hak asasi manusia untuk melakukan apa saja yang disukainya.  Pornografi-pornoaksi, cenderung dilegalkan karena memberi keuntungan pada pendapatan individu masyarakat maupun Negara dengan pajaknya.  Dan segudang problem lain, termasuk dalam hal pelaksanaan hak beragama.  Kasus semisal ahmadiyah, aliran sesatnya Lia Eden, cuci otak ala NII, dan aliran sesat lainnya tidak kunjung tuntas dan telah membawa banyak korban.
Bila pendidikan dijadikan tumpuan untuk membangun karakter bangsa unggulan, sementara sistem besar yang menjadi pilar tegaknya pendidikan ini berorientasi pada sekularisme dan kapitalisme, akankah berhasil? Jawabnya tentu tidak, tumpuan ini begitu rapuh.  Orientasi pendidikan sudah dibalut kepentingan ideologi kapitalistis.  Bagaimana bisa dilawan dengan gerakan moral yang berbasis pada pilar bangsa yang nyatanya juga sekuleris? Pencanangan pendidikan karakter kebangsaan, di samping tidak akan menyelesaikan persolaan juga menjadi bukti adanya upaya pelanggengan idiologi sekulerisme di negeri ini.  Pendidikan yang selama ini menjadi pintu masuknya pemahaman justru makin terkuasai oleh sekulerisme.
Pendidikan karakter kebangsaan kontra produktif dengan semangat kembali kepada Islam Kaffaah.  Sebab, dalam beberapa sisi, pilar-pilar kebangsaan Indonesia secara sengaja mengarahkan pengembannya untuk lebih mencintai negara melebihi kecintaan kepada Allah SWT.  Padahal Allah SWT telah memperingatkan:
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai  daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (TQS. At Taubah [9]:24)
Begitu pula Allah SWT telah melarang kaum muslim mengikuti hukum yang tidak berbasis pada ideologi Islam alias hukum jahiliyah, dan sebaliknya memerintahkan untuk menerapkan Islam secara sempurna.
Allah SWT berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah [5] : 50)
Membangun pendidikan karakter kebangsaan hanyalah upaya tambal sulam dari rusaknya sistem kehidupan yang sekuler.  Sungguh, hal itu tidak akan memperbaiki persoalan, justru menambah persoalan baru karena mengokohkan sekulerisme -idiologi yang bertentangan dengan Islam.
Karakter Kepribadian Islam
Karakter kebangsaan bukanlah karakter generasi pembangun bangsa yang shohih, yang mempunyai visi dan misi mengubah negeri menjadi maju, beradab dan kuat.  Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh generasi ini adalah pendidikan berbasis karakter yang shohih.  Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang pernah membangun sebuah peradaban maju telah memberikan aturan membangun pendidikan yang shohih.  Pendidikan yang dibangun oleh Islam terbukti menghasilkan generasi yang mampu membangun peradaban maju dan kuat.
Sistem pendidikan Islam tersebut menitik beratkan pada terbentuknya karakter kepribadian Islam, bukan semata-mata pembelaan kepada bangsa.  Pendidikan yang bertujuan membentuk karakter kepribadian Islam tentu berbeda dengan karakter kebangsaan.  Sebab, karakter kepribadian Islam dibangun berdasarkan aqidah Islam.  Yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki sudut pandang dan pemikiran yang shohih (Islami) dan sikap atau perilaku yang tidak menyimpang dari aturan Sang Khalik.  Hal ini sangat penting, mengingat kunci dari semua persoalan bangsa adalah benarnya (shohihnya)  aturan dan kebijakan yang diterapkan, dan itu dapat terwujud hanya melalui proses pendidikan yang shohih.
Pendidikan Islam tidak saja menghasilkan generasi yang benar dalam sikap dan pemikiran, namun juga semangat yang tinggi dalam menguasai ilmu-ilmu terapan (ilmu pengetahuan dan teknologi).  Hal ini sangat penting untuk membawa bangsa keluar dari krisis multidimensi yang disebabkan oleh lemahnya penguasaan iptek sehingga bergantung pada negara asing.
Pendidikan Islam tidak akan mencetak generasi yang anarkis, meski untuk melawan kedholiman penguasa sekalipun.  Sebab, aqidah dan syariah Islam telah menetapkan metode yang shohih untuk membangun negara, peradaban dan masyarakat.  Bukti atas majunya bangsa yang menerapkan pendidikan Islam telah terukir dalam sejarah panjang kehidupan Daulah Khilafah Islamiyyah sejak Rasulullah Saw mendirikannya di Madinah hingga kelemahannya di abad 19 M.  Sungguh, kaum muslim terdahulu telah menerapkannya, hanya saja mereka kini telah dibutakan oleh sistem kufur yang menutupi keluhuran sistem pendidikan Islam tersebut.
Penutup
Sudah saatnya bangsa ini berpikir untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam melalui sistem pendidikan Islam.  Inilah satu-satunya solusi untuk mengatasi berbagai persoalan menyangkut kualitas generasi.  Memang, semua itu tidak mudah dilakukan, sebab sistem pendidikan Islam akan sempurna diterapkan dalam wadah negara Khilafah Islam.
Umat Islam secara keseluruhan harus mencurahkan segenap tenaganya untuk mewujudkan tatanan kehidupan Islam.  Itu semua dilakukan demi menyambut seruan Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (TQS. Al Anfaal [8]:24). 
(dikutip dari: www.hizbut-tahrir.or.id)

1 komentar:

  1. Hanya sistem Islam yang bisa melahirkan generasi berkepribadian Islam

    BalasHapus