Rabu, 02 Juni 2010

Maktab dalam Peradaban Islam


Melek ilmu telah sejak dini dikenalkan dalam dunia Islam. Berbagai lembaga pendidikan lahir untuk memenuhi kepentingan ini. Salah satunya adalah maktab atau sering pula dikenal sebagai kuttab. Melalui maktab, sejumlah bidang ilmu diajarkan kepada para siswanya, misalnya tata bahasa dan Alquran.

Istilah maktab atau kuttab juga berserak dalam beragam literatur Islam. Hal ini menunjukkan maktab telah ada sejak abad pertama Islam. Siswa yang belajar di lembaga ini berasal dari kalangan merdeka dan budak. Sebuah riwayat menegaskan keberadaan lembaga tersebut.


Riwayat itu terkait dengan Ummu Sulayman, ibunda ahli hadis Annas bin Malik, yang meninggal pada 93 Hijriyah, yang pernah meminta pengajar di maktab mengirimkan beberapa siswa lelaki untuk membantunya membuat wol. Pada masa berikutnya, maktab ini menyebar ke seluruh dunia Islam.

Keberadaan maktab menembus hingga Spanyol dan Sisilia. Seorang pelancong Muslim, Ibnu Hawqal, yang meninggal pada 977 Masehi, mengungkapkan, terdapat sekitar 300 maktab di Palermo. Guru yang mengajar di maktab dihargai dan dianggap sebagai warga yang terpandang.



Selain itu, ada pula Nuaymi, penulis buku sejarah lembaga pendidikan di Damaskus, Suriah, berjudul Daris yang menyingkap pula soal maktab ini. Ia, misalnya, menceritakan maktab yang didirikan Pangeran Fakhr al-Din ibn Qazal. Maktab tersebut berdiri di atas tanah wakaf.


Maktab dikenal sebagai sekolah tingkat dasar sebab banyak anak Muslim yang mengawali pendidikannya di sana. Mereka mendapatkan pengantar ilmu agama dan umum. Namun, menurut pakar dunia Arab dan Islam, George A Makdisi, ilmu yang diajarkan lebih tinggi dibandingkan sekolah dasar yang dikenal sekarang ini.

Para siswa juga mendapatkan pengajaran dan pelatihan secara ketat. Kemudian, maktab memiliki siswa dan alumni yang masuk jajaran kalangan intelektual yang bisa diandalkan. Dalam konteks ini, Muhammad ibnu Walad, seorang sultan di Spanyol, mengalami pengalaman yang mengagumkan.

Pada suatu saat, Walad makan malam bersama cucunya yang merupakan siswa maktab. Di sela-sela acara makan malam itu, ia melontarkan syair secara spontan. Cucunya yang duduk di hadapannya segera membalas syair itu yang dibuatnya dengan spontan pula.

Prestasi lainnya melekat pada diri Muhammad ibn Dawud al-Zhahiri. Dia mulai menulis buku yang sangat terkenal berjudul Kitab al-Zahra atau Bunga saat ia masih menjadi siswa maktab dan berusia masih sangat belia, 15 tahun. Ayahnya, Dawud ibnu Ali al-Zhahiri, telah membaca sebagian besar karya tersebut sebelum ia mengembuskan napas terakhir.

Keturunan Khalifah al-Ma’mun yang bernama Ahmad ibnu Ali al-Zawwal menuntaskan pendidikannya di maktab pada usia 14 tahun. Ahmad melanjutkan pendidikannya dalam bidang tata bahasa dan berguru pada al-Jawaliq selama sebelas tahun. Hingga akhirnya, ia ditunjuk sebagai seorang hakim pada 1139 Masehi.

Ahmad mengungkapkan, selama menimba ilmu, ia telah menelaah banyak kitab, baik yang ia hafal maupun tidak judul karya tersebut, di bawah bimbingan al-Jawaliq. Ilmuwan lainnya, al-Bayhaqi, juga merupakan salah satu orang yang mengawali pendidikannya di maktab.

Ketika al-Bayhaqi berusia 15 tahun dan duduk di tingkat pertama maktab, ia telah hafal sebelas buku yang membahas tata bahasa, syair, serta kamus bahasa Arab tentang hukum, makhluk hidup, dan benda mati. Syair yang ia hafal termasuk syair yang dibuat penyair terkenal, al-Mutannabi dan Abu Tamam, yang dimuat dalam bunga rampai al-Hamasah.

Satu tahun kemudian, saat al-Bayhaqi berusia 16 tahun, buku yang mampu dihafalnya bertambah. Ia telah hafal empat setengah buku tentang tata bahasa, termasuk pula yang membahas mantra. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi seorang murid dari ilmuwan ternama al-Maydani, yang pernah mengoreksi tujuh buku dalam kajian adab.

Pada saat yang sama, al-Bayhaqi mendalami teologi atau ilmu kalam melalui bimbingan dua pakar. Guru terakhir yang ia miliki adalah Qutb al-Din al-Thabasi. Ia tinggal bersama gurunya untuk belajar filsafat hingga gurunya itu meninggal dunia. Pada masa itu, ia telah berumur 37 tahun.

Tak lama kemudian, al-Bayhaqi memegang sejumlah jabatan di Naisapur. Pada 1154 Masehi, ia menyebutkan karya-karya yang telah ditulisnya hingga tahun tersebut. Ia mengungkapkan, ia telah menulis sebanyak 72 buku. Sejumlah buku itu di antaranya ditulis dalam beberapa jilid.

Beberapa karya al-Bayhaqi adalah Sejarah al-Bayhaqi yang ia tulis dalam bahasa Persia dan karya biografi berjudul Lubab al-Ansab atau Keturunan Terpilih. Selain itu, ada karya lainnya yang merupakan biografi para sastrawan yang berjudul Wisyah al-Dumya atau Pita Patung.

Tak jarang, maktab ini berfungsi sebagai sekolah menengah dan perguruan tinggi. Maktab oleh alumninya dijadikan sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan secara otodidak, mengabdi kepada seorang guru, atau hidup di tengah masyarakat di sekitar maktab. Langkah seperti itu ditempuh oleh seorang penyair abad ke-10 bernama Sayduk.

Setelah menyelesaikan studinya di Basrah, Irak, Sayduk memilih salah satu langkah di atas, yaitu hidup di tengah masyarakat di sekitar maktab. Ia tinggal bersama suku-suku Arab pedalaman selama sepuluh tahun. Di sana, ia memperdalam pengetahuan bahasa Arab klasiknya. ed: ferry


Berlanjut Hingga Turki Usmani

Tradisi maktab memiliki keberlanjutan. Pada masa Turki Usmani, banyak sekolah dasar didirikan. Ekmeleddin Ihsanoglu dalam tulisannya, Ottoman Educational and Scholarly-Scientific Institutions, mengatakan sekolah dasar yang dibangun di sana merupakan kelanjutan dari konsep sekolah yang dikenal maktab atau kuttab.

Sekolah-sekolah tersebut, juga terkait dengan istilah dar al-talim, dar al-huffaz, tash maktab atau maktab. Pada umumnya, sekolah dasar di masa Turki Usmani dibangun oleh negarawan atau sultan. Lokasinya berada di dalam area kompleks masjid atau dalam bahasa Turki sering disebut kulliye.

Anak-anak yang telah mencapai usia lima tahun, akan memulai pendidikannya di sekolah-sekolah ini. Saat itu, tak ada prosedur penerimaan siswa baru atau pendaftaran seperti sekarang. Anak-anak dari semua keluarga Muslim berhak untuk mendapatkan pendidikan di sana.

Pengajarnya adalah orang-orang yang memiliki pendidikan madrasah atau para imam dan pengurus masjid. Tujuan pendirian sekolah ini merupakan pendidikan dini dalam menulis dan membaca. Termasuk, berhitung dan pengajaran dasar-dasar agama Islam serta Alquran.

Selain itu, para siswa di sekolah itu biasanya mebaca kamus puisi dalam bahasa Arab dan Persia, seperti Subha-i Sibyan and Tuhfe-i Vehbi. Saat itu, tak ada patokan usia siswa yang bisa dinyatakan lulus. Namun, ada patokan yang pasti bagi mereka untuk bisa menyudahi pendidikan di sekolah dasar, yaitu kemampuan membaca Alquran.

Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II, mulai ada upaya reformasi dalam penyelenggaraan pendidikan dasar ini. Melalui sebuah peraturan, ia menyatakan, pemerintah mengelola pendidikan dasar itu. Juga ada penentuan umur kelulusan. Para siswa menjalani pendidikan di sekolah dasar hingga mencapai pubertas.

Upaya lain dilakukan pada masa Sultan Abdulmecid pada 1845 Masehi. Ia menginginkan adanya perbaikan dalam sistem pendidikan di sekolah dasar. Di antaranya, ia mensyaratkan agar guru-guru yang mengajar memiliki izin untuk memberikan pengajaran.

Tak hanya itu, Sultan Abdulmecid juga menerapka sistem kelas. Ini artinya para siswa dikelompokkan ke dalam sejumlah kelas. Untuk mengevaluasi sejauh mana para siswa mampu menangkap pelajaran yang diberikan para guru, pada masa sang sultan, sekolah memberlakukan tes evaluasi atau ujian.

Sumber: republika (24/5/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar