Selasa, 18 Mei 2010

Potret Buram Pendidikan di Indonesia


Pentingnya pendidikan sudah dirasakan manusia semanjak zaman kuno. Ketika itu pendidikan diletakkan sebagai pondasi dan menjadi prioritas untuk memunculkan peradaban. Bagi sebuah masyarakat, pendidikan mempunyai peranan vital. Pendidikanlah yang memungkinkan pelita pemikiran suatu masyarakat menyala terang. Yang akan memberi pada gerak hidup masyarakakat untuk tumbuh dan berkembang melintasi zaman seraya mewujudkan kemajuan dan kemakmuran.
Namun sayang, harapan itu jauh panggang dari api, meski sudah merdeka lebih dari setengah abad dunia pendidikan di Indonesia masih menimbun berbagai masalah. Mulai dari biaya sekolah yang cukup tinggi, kondisi gedung yang tidak layak, minimnya anggaran dari pemerintah, kualitas SDM yang rendah, kurikulum yang mandul, minat belajar siswa yang rendah, nasib para pengajarnya, kompetensi dan teladan para pendidik dan segudang masalah lain yang satu sama lain saling berkait.
Dari berbagai persoalan pendidikan tersebut dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu : Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya.
1. Masalah Mendasar : Paradigma Pendidikan Nasional
Apabila dilihat secara obyektif, kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini adalah produk sistem pendidikan yang skular-materialistik. Hal ini terlihat misalnya pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa jenis pendidikan mendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus. Dari pasal ini terlihat jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidkan agama dan pendidikan umum. Pada UU Sisdiknas juga ada ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan untuk memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.
2. Masalah-masalah Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
2.1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya
2.2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.
Belum lagi banyak prilaku guru yang keluar koridor sebagai pendidik, mulai dari yang berbuat asusila pada muridnya, menjadi pengedar narkoba dan yang paling parah secara sistemik berbuat kecurangan pana pelaksanaan Ujian Nasional.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
2.3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Belum lagi terjadinya kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.
2.4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
2.5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2.6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
2.7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Orang miskin dilarang pintar. Ini adalah ungkapan frustasi sebagian rakyat Indonesia ketika menghadapi betapa mahalnya biaya pendidikan di negeri ini. Betapa tidak, di tengah kesulitan ekonomi yang masih membelit, kini rakyat harus menanggung beban baru, yakni biaya pendidikan yang semakin mahal. Program ‘wajar’ (baca: wajib belajar) yang sudah lama dicanangkan Pemerintah tampaknya semakin tidak wajar. Sebab, wajib belajar kini seolah identik dengan wajib membayar mahal biaya pendidikan. Artinya, secara tidak langsung, tuntutan kepada masyarakat agar turut mensukseskan program wajib belajar pada dasarnya tidak ada bedanya dengan tuntutan kepada mereka agar wajib mengeluarkan biaya pendidikan yang mahal itu.

Kesimpulan

Penyelesaian problem pendidikan yang mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Lalu kelemahan fungsional yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya dapat diperbaiki dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar